Ya Rabb, saya ingin sekali melihat ibu
saya tersenyum, tertawa, bahagia karena saya. Yang saya tahu, Ibu selalu
menagis.
Saat ia lelah mengandung saya, ia
menangis
Saat ia kesakitan melahirkan saya, ia
menangis
Saat ia lega bahwa saya lahir ke dunia,
ia menangis
Saat saya menangis setiap kali minum
susu, ia menangis
Saat saya tidak bisa bernafas dan selalu batuk,
ia menangis
Saat saya bisa bicara, berjalan dan
mulai nakal, ia menangis
Saat saya mulai sekolah, ia menangis
Saat saya jatuh tertimpa sepeda, ia
menangis
Saat saya remaja dan mulai membantah
saya perintahnya, ia menangis
Saat
saya kena marah bapak, ia menangis
Saat saya lulus sekolah, ia menangis
Saat saya kuliah, ia menangis
Saat saya jatuh cinta, ia menangis
Saat saya mulai pulang malam karena kegiatan di
luar, ia menangis
Setiap saya melakukan sesuatu, entah kenapa,
saya selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam kehidupan saya Ibu selalu
menangis. Entah apa yang harus saya lakukan agar Ibu tidak menangis lagi . . .
Entah sampai seluruh hidup saya habis
ibu akan terus menangis
Saya berusaha mulai detik ini tidak
akan membuat ibu saya menangis lagi . . .
"Aku akui cinta laki-laki seumpama gunung.
Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja
meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan
menurutku cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh
perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh
dan tumbuh lagi."
Paragraf di atas terinspirasi dari salah satu dialog dalam
film Pasir Berbisik karya Garin
Nugroho. Dan apa yang ada dalam dialog tersebut aku alami sendiri.
Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, ketika
dia meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang
dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.
Ibuku adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku, memang
cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu
dipotong. Bahkan, jika jari itu cantengan
dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tidak terkira, kuku itu
akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi . . . .
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang
aku yakin tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah
tindakan agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar,
energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah
bernama perempuan.