Rabu, 25 Juli 2012

Cinta Seorang Perempuan

Ya Rabb, saya ingin sekali melihat ibu saya tersenyum, tertawa, bahagia karena saya. Yang saya tahu, Ibu selalu menagis.
Saat ia lelah mengandung saya, ia menangis
Saat ia kesakitan melahirkan saya, ia menangis
Saat ia lega bahwa saya lahir ke dunia, ia menangis
Saat saya menangis setiap kali minum susu, ia menangis
Saat saya tidak bisa bernafas dan selalu batuk, ia menangis
Saat saya bisa bicara, berjalan dan mulai nakal, ia menangis
Saat saya mulai sekolah, ia menangis
Saat saya jatuh tertimpa sepeda, ia menangis
Saat saya remaja dan mulai membantah saya perintahnya, ia menangis
Saat saya kena marah bapak, ia menangis
Saat saya lulus sekolah, ia menangis
Saat saya kuliah, ia menangis
Saat saya jatuh cinta, ia menangis
Saat saya mulai pulang malam karena kegiatan di luar, ia menangis
Setiap saya melakukan sesuatu, entah kenapa, saya selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam kehidupan saya Ibu selalu menangis. Entah apa yang harus saya lakukan agar Ibu tidak menangis lagi . . .
Entah sampai seluruh hidup saya habis ibu akan terus menangis
Saya berusaha mulai detik ini tidak akan membuat ibu saya menangis lagi . . .

"Aku akui cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan menurutku cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi." 
Paragraf di atas terinspirasi dari salah satu dialog dalam film Pasir Berbisik karya Garin Nugroho. Dan apa yang ada dalam dialog tersebut aku alami sendiri.
Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, ketika dia meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.
Ibuku adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku, memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu dipotong. Bahkan, jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tidak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi . . . .
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang aku yakin tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah tindakan agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.