Jumat, 24 Agustus 2012

Cinta Seorang Perempuan Bag. 2 Pesan Cinta dari Balik Jendela


Masih ingat ceritaku soal cinta seorang perempuan. Kemarin aku bercerita bahwa di setiap aku melakukan sesuatu, entah kenapa, aku selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam kehidupanku Ibu selalu menangis. Entah apa yang harus kulakukan agar Ibu tidak menangis lagi.

Masih ingat juga salah satu dialog dalam film Pasir Berbisik karya Garin Nugroho yang pernah aku ambil kutipannya. Dalam dialog tersebut disebutkan bahwa cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan menurutku cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.

Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung. Ketika dia meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.


Ibuku adalah perempuan memiliki cinta yang besar untuk Bapakku. Bukan cinta buta tanpa logika. Dia memutuskan untuk menunjukkannya seperti yang dianalogikan Garin Nugroho. Cinta sebesar kuku, memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu dipotong. Bahkan, jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tidak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang aku yakin tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah tindakan agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

Ada satu cerita. Bukan sang ayah atau sang ibu, namun cinta ini dimiliki anaknya. Sudah lumayan lama, ketika itu aku dan beberapa teman menginap di salah satu desa di daerah Cilacap. Perjalanan kami waktu itu dalam misi Susur Pantai dengan rute dari Pantai Ayah di Kabupaten Kebumen jalan kaki hingga Pantai Widara Payung di Kabupaten Cilacap. 

Cerita ini entah kenapa aku ingin menceritakan malam ini. Ada sebuah alasan yang mendasari tapi aku pun tak tahu apa alasan itu. Malam, ketika masih menyelimuti jiwaku. Ketika pagi masih nun jauh di sana. Ketika, bintang malam menemani di bukit-bukit yang berembun. Dibalut warna putih menemani. Ketika, angin pagi begitu benci pada kita. Ketika, jiwa kita menari bersama dalam dinginnya rerumputan basah. Hujan ini membuatnya semuanya basah. Malamku, ketika rumput-rumpur yang bergoyang. Embun yang terus bersenandung di tebing-tebing curam yang saling bercumbu. Malamku, yang membelai di redup lampu kota yang perlahan padam.
photo by me

Di sebuah rumah daerah pesisir pantai, seorang ibu menanam pohon belimbing di dekat jendela kamar putrinya. Dia menanamnya dengan tujuan untuk menghalau tepias air hujan agar tidak memasuki celah-celah jendela rumah. Putrinya, Siti, adalah anak yang suka memandang hujan dari tepi jendela. Kata ibunya, pipi anaknya akan bersemu merah jika hujan turun.

Hari itu hujan deras sejak siang tadi sudah berubah menjadi gerimis. Siti masih saja menopang wajah di bingkai jendela, selalu begitu, hingga senja tiba menjemput malam. Memandang malam yang gelap. Beberapa kunang-kunang tampak di rerimbun daun pohon belimbing dekat jendela rumah. Mereka terbang berpindah-pindah dari dahan satu ke dahan lain hingga hinggap di tunggul pohon belimbing. Jika sudah begitu, pohon belimbing itu akan benderang.

Siti masih duduk di sana. Tadi sore, ayah ibunya bertengkar hebat.  Persoalannya sepele, teh yang disajikan ibunya tak terlalu manis. Ayahnya langsung marah dan membanting gelas ke lantai sambil mengeluarkan makian: “Dasar perempuan tak becus, apa gunanya kau tinggal di rumah?” Sementara ibunya hanya diam ketakutan sambil memunguti beling yang berserakan di lantai.

Siti yang menyaksikan itu menangis dari balik tirai kain kamarnya. Ia tak boleh menangis, jika tak ingin ayahnya akan memukulinya pula. Jendela adalah satu-satunya tempat pelarian dari pemandangan pertengkaran ayah dan ibunya.

Bukan hanya dua tiga kali ayahnya berlaku kasar pada ibunya. Tetapi sejak Siti masih dalam kandungan. Klise, tapi ini kenyataan. Seperti sinetron, tapi ini kenyataan. Ayahnya suka bermain kartu dengan uang taruhan di rumah para juragan. Terkadang ayahnya pulang dengan mata merah sambil menggedor-gedor dan membanting pintu rumah dengan keras.

Ketika Siti masih berumur satu tahun, pertengkaran semakin sengit. Jika sudah marah, ayahnya seringkali menampar dan menendang ibunya yang terduduk menangis sambil memeluk kaki ayahnya.

Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Siti merasa sangat kesepian. Ia lebih suka membaca buku untuk menemukan sosok tokoh orang tua yang bijaksana, tokoh ibu yang mengajari anak-anak membaca Al Quran, baca tulis huruf-huruf latin, berhitung dan menanyakan makanan yang diinginkan anak-anaknya sebelum memasak atau mengeloni mereka sambil mendongeng sebelum tidur. Tokoh ayah yang sangat sayang pada ibu juga anak-anaknya. Buku dan jendela adalah pelampiasan dari suasana rumah yang tidak hangat.

Suatu kali, Siti menyaksikan ibunya menangis di sisi tempat tidur. Tak lain karena ulah ayahnya. Soal uang, ibunya tak ingin suaminya terus bermain judi. Ayahnya yang marah langsung memukuli ibunya. Setelah itu, ayahnya keluar rumah dan tak pulang beberapa hari. Siti kecil berlari ke arah ibunya yang masih menangis di sisi tempat tidur. Ia memeluk dan mencium pipi ibunya. Ibunya terdiam dan mereka bertangis-tangisan dalam malam yang ditungkupi hujan lebat.

Perkara rumah tangga dalam keluarga Siti tak pernah sekalipun dicium tetangga mereka. Di depan orang-orang, ayah Siti selalu tampil sebagai manusia yang baik. berbeda 180 derajat dengan di rumah. Ibunya, seakan seorang perempuan yang tak pernah bisa menjadi perempuan. Ia menjadi seorang ibu yang suka marah kepada anaknya. Ia bahkan kadang tak mengerti kenapa sampai tak bisa memahami dunia anaknya. Hubungannya kini seperti dua kampung yang dihalangi oleh hutan hujan yang gelap, lembab dan lebat.

Mungkin karena wajah anaknya banyak mengambil kekhasan wajah ayahnya. Ibunya membenci wajah ayahnya. Padahal dulu, ibunya justru jatuh cinta karena wajah ayahnya. Namun setelah menikah semuanya berubah.

Setiap pagi, ibunya sudah harus bangun dan melayani semua kebutuhan ayahnya. Ibunya merasa tak pernah benar-benar melakukan itu dengan ikhlas. Ia benci tangannya yang terpaksa harus menjumput gula pasir dengan sendok, lalu mengaduk teh untuk ayahnya. Atau menata makanan dalam piring. Sikap itu timbul setelah suaminya berkali-kali berlaku kasar padanya.

Ayahnya yang dulu tampan bagi ibunya kini tak ubahnya laki-laki paruh baya, berkulit legam dan bermata merah. Ibunya malas memandang wajah ayahnya yang buruk itu. Ayahnya pun tak lagi tertarik untuk satu kamar dengan ibunya. Ayahnya memilih untuk tidur di ruang tamu yang kini seakan ruang pribadi baginya setiap malam.

Tetangga yang tidak pernah tahu soal ini, menganngap mereka keluarga yang bahagia. Mengetahui hal itu, ibunya diam saja. Ibunya memang bukan orang yang suka menggembor-gemborkan masalah rumah tangga kepada orang lain. 

Kebencian ibunya kepada ayahnya berubah menjadi rasa takut. Karena tidak berani pada suaminya, akhirnya pelampiasan kemarahan ditumpahkannya kepada anaknya. Baginya, mata rantai kesalahan itu akibat sikap, perkataan dan perbuatan kasar suaminya.
photo by me

Seperti halnya ibunya, Siti juga begitu benci pada sikap cepat marah dan suka memukul ayahnya. Tetapi jika ayahnya sedang duduk diam, menghembuskan asap rokok sambil mengikatkan pancing, Siti jatuh kasihan melihatnya. Terlebih jika Siti mengetahui ayahnya pulang melaut dengan tubuh menggigil sambil memanggul keranjang ikan, Siti merasa ayahnya tak patut dibenci. Apalagi ayahnya sebenarnya sering membawakan buku-buku cerita anak untuk Siti.

Rasa benci dan sayang silih berganti hadir di hati Siti pada ayahnya. Tapi, ia tak pernah sekalipun membenci ibunya. Siti paham, mungkin ibunya begitu juga karena ayahnya. Bagi Siti, segalanya sudah cukup jika dalam buku yang dibacanya menemukan sosok tokoh ibu yang bijak dan baik hati. Siti selalu membayangkan bahwa itu adalah ibunya.


by Galih P3
Jumat, 24/ 08/ 2012
18.57