Masih ingat ceritaku soal cinta seorang
perempuan. Kemarin aku bercerita bahwa di setiap aku melakukan sesuatu,
entah kenapa, aku selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam
kehidupanku Ibu selalu menangis. Entah apa yang harus kulakukan agar Ibu
tidak menangis lagi.
Masih ingat juga salah satu dialog dalam film Pasir Berbisik karya Garin
Nugroho yang pernah aku ambil kutipannya. Dalam dialog tersebut
disebutkan bahwa cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan
dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan
lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan menurutku cinta
perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh
perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia
tumbuh dan tumbuh lagi.
Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung. Ketika dia
meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang
dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.
Ibuku adalah perempuan memiliki cinta yang besar untuk Bapakku. Bukan cinta buta tanpa logika. Dia memutuskan untuk menunjukkannya seperti yang dianalogikan Garin Nugroho. Cinta sebesar kuku, memang cuma seujung
jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu dipotong.
Bahkan, jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut,
meski sakitnya tidak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh
lagi.
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang aku yakin
tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah tindakan
agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar,
energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya)
lemah bernama perempuan.
Ada satu cerita. Bukan sang ayah atau sang ibu, namun cinta ini dimiliki
anaknya. Sudah lumayan lama, ketika itu aku dan beberapa teman menginap
di salah satu desa di daerah Cilacap. Perjalanan kami waktu itu dalam misi Susur Pantai dengan rute dari Pantai Ayah di Kabupaten Kebumen jalan kaki hingga Pantai Widara Payung di Kabupaten Cilacap.
Cerita ini entah kenapa aku ingin
menceritakan malam ini. Ada sebuah alasan yang mendasari tapi aku
pun tak tahu apa alasan itu. Malam, ketika masih menyelimuti jiwaku.
Ketika pagi masih nun jauh di sana. Ketika, bintang malam menemani di
bukit-bukit yang berembun. Dibalut warna putih menemani. Ketika, angin
pagi begitu benci pada kita. Ketika, jiwa kita menari bersama dalam
dinginnya rerumputan basah. Hujan ini membuatnya semuanya basah.
Malamku, ketika rumput-rumpur yang bergoyang. Embun yang terus
bersenandung di tebing-tebing curam yang saling bercumbu. Malamku, yang
membelai di redup lampu kota yang perlahan padam.
|
photo by me |
Di sebuah rumah daerah pesisir pantai, seorang ibu menanam pohon
belimbing di dekat jendela kamar putrinya. Dia menanamnya dengan tujuan
untuk menghalau tepias air hujan agar tidak memasuki celah-celah jendela
rumah. Putrinya, Siti, adalah anak yang suka memandang hujan dari tepi
jendela. Kata ibunya, pipi anaknya akan bersemu merah jika hujan turun.
Hari itu hujan deras sejak siang tadi sudah berubah menjadi gerimis.
Siti masih saja menopang wajah di bingkai jendela, selalu begitu, hingga
senja tiba menjemput malam. Memandang malam yang gelap. Beberapa
kunang-kunang tampak di rerimbun daun pohon belimbing dekat jendela
rumah. Mereka terbang berpindah-pindah dari dahan satu ke dahan lain
hingga hinggap di tunggul pohon belimbing. Jika sudah begitu, pohon
belimbing itu akan benderang.
Siti masih duduk di sana. Tadi sore, ayah ibunya bertengkar hebat.
Persoalannya sepele, teh yang disajikan ibunya tak terlalu manis.
Ayahnya langsung marah dan membanting gelas ke lantai sambil
mengeluarkan makian: “Dasar perempuan tak becus, apa gunanya kau tinggal
di rumah?” Sementara ibunya hanya diam ketakutan sambil memunguti
beling yang berserakan di lantai.
Siti yang menyaksikan itu menangis dari balik tirai kain kamarnya. Ia
tak boleh menangis, jika tak ingin ayahnya akan memukulinya pula.
Jendela adalah satu-satunya tempat pelarian dari pemandangan
pertengkaran ayah dan ibunya.
Bukan hanya dua tiga kali ayahnya berlaku kasar pada ibunya. Tetapi
sejak Siti masih dalam kandungan. Klise, tapi ini kenyataan. Seperti
sinetron, tapi ini kenyataan. Ayahnya suka bermain kartu dengan uang
taruhan di rumah para juragan. Terkadang ayahnya pulang dengan mata
merah sambil menggedor-gedor dan membanting pintu rumah dengan keras.
Ketika Siti masih berumur satu tahun, pertengkaran semakin sengit. Jika
sudah marah, ayahnya seringkali menampar dan menendang ibunya yang
terduduk menangis sambil memeluk kaki ayahnya.
Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Siti merasa sangat kesepian. Ia
lebih suka membaca buku untuk menemukan sosok tokoh orang tua yang
bijaksana, tokoh ibu yang mengajari anak-anak membaca Al Quran, baca
tulis huruf-huruf latin, berhitung dan menanyakan makanan yang
diinginkan anak-anaknya sebelum memasak atau mengeloni mereka sambil
mendongeng sebelum tidur. Tokoh ayah yang sangat sayang pada ibu juga
anak-anaknya. Buku dan jendela adalah pelampiasan dari suasana rumah
yang tidak hangat.
Suatu kali, Siti menyaksikan ibunya menangis di sisi tempat tidur. Tak
lain karena ulah ayahnya. Soal uang, ibunya tak ingin suaminya terus
bermain judi. Ayahnya yang marah langsung memukuli ibunya. Setelah itu,
ayahnya keluar rumah dan tak pulang beberapa hari. Siti kecil berlari ke
arah ibunya yang masih menangis di sisi tempat tidur. Ia memeluk dan
mencium pipi ibunya. Ibunya terdiam dan mereka bertangis-tangisan dalam
malam yang ditungkupi hujan lebat.
Perkara rumah tangga dalam keluarga Siti tak pernah sekalipun dicium
tetangga mereka. Di depan orang-orang, ayah Siti selalu tampil sebagai
manusia yang baik. berbeda 180 derajat dengan di rumah. Ibunya, seakan
seorang perempuan yang tak pernah bisa menjadi perempuan. Ia menjadi
seorang ibu yang suka marah kepada anaknya. Ia bahkan kadang tak
mengerti kenapa sampai tak bisa memahami dunia anaknya. Hubungannya kini
seperti dua kampung yang dihalangi oleh hutan hujan yang gelap, lembab
dan lebat.
Mungkin karena wajah anaknya banyak mengambil kekhasan wajah ayahnya.
Ibunya membenci wajah ayahnya. Padahal dulu, ibunya justru jatuh cinta
karena wajah ayahnya. Namun setelah menikah semuanya berubah.
Setiap pagi, ibunya sudah harus bangun dan melayani semua kebutuhan
ayahnya. Ibunya merasa tak pernah benar-benar melakukan itu dengan
ikhlas. Ia benci tangannya yang terpaksa harus menjumput gula pasir
dengan sendok, lalu mengaduk teh untuk ayahnya. Atau menata makanan
dalam piring. Sikap itu timbul setelah suaminya berkali-kali berlaku
kasar padanya.
Ayahnya yang dulu tampan bagi ibunya kini tak ubahnya laki-laki paruh
baya, berkulit legam dan bermata merah. Ibunya malas memandang wajah
ayahnya yang buruk itu. Ayahnya pun tak lagi tertarik untuk satu kamar
dengan ibunya. Ayahnya memilih untuk tidur di ruang tamu yang kini
seakan ruang pribadi baginya setiap malam.
Tetangga yang tidak pernah tahu soal ini, menganngap mereka keluarga
yang bahagia. Mengetahui hal itu, ibunya diam saja. Ibunya memang bukan
orang yang suka menggembor-gemborkan masalah rumah tangga kepada orang
lain.
Kebencian ibunya kepada ayahnya berubah menjadi rasa takut. Karena tidak
berani pada suaminya, akhirnya pelampiasan kemarahan ditumpahkannya
kepada anaknya. Baginya, mata rantai kesalahan itu akibat sikap,
perkataan dan perbuatan kasar suaminya.
|
photo by me |
Seperti halnya ibunya, Siti juga begitu benci pada sikap cepat marah dan
suka memukul ayahnya. Tetapi jika ayahnya sedang duduk diam,
menghembuskan asap rokok sambil mengikatkan pancing, Siti jatuh kasihan
melihatnya. Terlebih jika Siti mengetahui ayahnya pulang melaut dengan
tubuh menggigil sambil memanggul keranjang ikan, Siti merasa ayahnya tak
patut dibenci. Apalagi ayahnya sebenarnya sering membawakan buku-buku
cerita anak untuk Siti.
Rasa benci dan sayang silih berganti hadir di hati Siti pada ayahnya.
Tapi, ia tak pernah sekalipun membenci ibunya. Siti paham, mungkin
ibunya begitu juga karena ayahnya. Bagi Siti, segalanya sudah cukup jika
dalam buku yang dibacanya menemukan sosok tokoh ibu yang bijak dan baik
hati. Siti selalu membayangkan bahwa itu adalah ibunya.
by Galih P3
Jumat, 24/ 08/ 2012
18.57