Rabu, 12 Desember 2012

Ngikut ah 12-12-12

Sesungguhnya, kita semua selalu sendiri.
Hanya amalan ibadah kita yang akan menemani di tempat pembaringan akhir kelak..
Ketika rasa sendiri itu datang, rasa itu selalu datang. Tapi selalu ada yang mengingatmu dalam doanya. Atau bentuk perhatian yang lain.

Ketika tidak mendapat perhatian seperti yang kita inginkan, bukan berarti mereka tidak sayang dengan kita. Setiap orang mempunyai bentuk perhatian yang berbeda.

Kekuatan itu tak hanya berasal dari semangat yg membara, tapi juga dari pemilik kekuatan sesungguhnya. Hanya padaNya tempat kita meminta pertolongan dan kekuatan. Maka perbaiki hubungan dengan Allah, insyaAllah semua akan membaik. Mari tersenyuman untuk hari ini dan positif selalu.
My lovely brother and sister 3G
 
" Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibanding bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah, mengapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas. "

--- lupa dari mana yang jelas dari buku karya orang,, maap ya lupa namanya










by galih

Minggu, 30 September 2012



SACHIE
Kadang aku heran dengannya. Apa sih, yang kurang? Fisik bisa dibilang oke, siapa yang tidak suka dengan gadis berparas ayu. Wajahnya lonjong, dengan mata yang besar berwarna coklat terang, bulu mata lentik hidung mungil tapi mancung dan bibir yang mungil warna merah muda. Rambutnya hitam pendek dengan poni di dahinya. Membuatnya seperti boneka. Ditambah dengan kulit putihnya. Sangat mirip dengan Momoko, tokoh dalam anime Wedding Peach. Iya itu, aku ingat sekali. Dulu, ketika masih kelas tiga SD aku sering bersama kakakku menonton anime ini. Itu juga terpaksa, soalnya setelah Wedding Peach diputar Kamen Raider atau anime ksatria baja hitam.
Wedding Peach itu cerita tiga gadis SMA yang melawan kejahatan. Disitu diceritakan bahwa kekuatan yang mereka miliki akan berguna setelah mereka berubah dari anak SMA menjadi pahlawan pembela kebenaran berkostum pengantin wanita.
Oke, cukup. Sachie, memang aneh. Seram malah. Perubahan suasana hatinya bisa sangat drastis. Dari senang berlebihan bisa menjadi teramat sedih. Namun, selama ini Sachie bisa menunjukkan sikap sebagi gadis baik-baik dengan kepribadian normal bahkan terlihat tanpa pernah ada masalah. Di sekolah, dengan senyum khasnya dia selalu menyapa setiap orang dan ramah. Sehingga banyak yang menyukainya. Laki-laki dan perempuan. Banyak juga yang suka dengannnya. Temanku, Toru, juga pernah menceritakan perasannya tentang Sachie padaku. Kusuruh dia untuk mengatakan sendiri. Walaupun banyak yang berteman dengannya, sahabatnya hanya aku saja.
Rumah kami berdekatan. Sejak kecil kami sudah tumbuh bersama. Tujuh belas tahun hidup bertetangga. Apapun tentangnya aku tahu. Perubahan drastis sikapnya pun biasa kualami. Tetap kadang aku pun tetap dibuat bingung.
Anehnya, sikapnya ini tak pernah terungkap di depan orang. Jika sedang bersamanya dan kulihat dia mulai menampakkan tanda-tanda akan meledak, kujejalkan dango ke mulutnya. Maka dari itu, baik Sachie maupun aku selalu membawa dango kemana-mana. Seakan-akan ini adalah jimat kami berdua. Makanan kesukaannya memang. Biasanya setelah dango masuk mulutnya, perlahan-lahan dia akan menarik nafas panjang. Dan akupun akan melakukan hal yang sama. Lega. lega, karena sahabatku masih bisa bertahan.
Sachie tinggal dengan orang tuanya. Dia anak t

Jumat, 24 Agustus 2012

Cinta Seorang Perempuan Bag. 2 Pesan Cinta dari Balik Jendela


Masih ingat ceritaku soal cinta seorang perempuan. Kemarin aku bercerita bahwa di setiap aku melakukan sesuatu, entah kenapa, aku selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam kehidupanku Ibu selalu menangis. Entah apa yang harus kulakukan agar Ibu tidak menangis lagi.

Masih ingat juga salah satu dialog dalam film Pasir Berbisik karya Garin Nugroho yang pernah aku ambil kutipannya. Dalam dialog tersebut disebutkan bahwa cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan menurutku cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.

Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung. Ketika dia meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.


Ibuku adalah perempuan memiliki cinta yang besar untuk Bapakku. Bukan cinta buta tanpa logika. Dia memutuskan untuk menunjukkannya seperti yang dianalogikan Garin Nugroho. Cinta sebesar kuku, memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu dipotong. Bahkan, jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tidak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang aku yakin tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah tindakan agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

Ada satu cerita. Bukan sang ayah atau sang ibu, namun cinta ini dimiliki anaknya. Sudah lumayan lama, ketika itu aku dan beberapa teman menginap di salah satu desa di daerah Cilacap. Perjalanan kami waktu itu dalam misi Susur Pantai dengan rute dari Pantai Ayah di Kabupaten Kebumen jalan kaki hingga Pantai Widara Payung di Kabupaten Cilacap. 

Cerita ini entah kenapa aku ingin menceritakan malam ini. Ada sebuah alasan yang mendasari tapi aku pun tak tahu apa alasan itu. Malam, ketika masih menyelimuti jiwaku. Ketika pagi masih nun jauh di sana. Ketika, bintang malam menemani di bukit-bukit yang berembun. Dibalut warna putih menemani. Ketika, angin pagi begitu benci pada kita. Ketika, jiwa kita menari bersama dalam dinginnya rerumputan basah. Hujan ini membuatnya semuanya basah. Malamku, ketika rumput-rumpur yang bergoyang. Embun yang terus bersenandung di tebing-tebing curam yang saling bercumbu. Malamku, yang membelai di redup lampu kota yang perlahan padam.
photo by me

Di sebuah rumah daerah pesisir pantai, seorang ibu menanam pohon belimbing di dekat jendela kamar putrinya. Dia menanamnya dengan tujuan untuk menghalau tepias air hujan agar tidak memasuki celah-celah jendela rumah. Putrinya, Siti, adalah anak yang suka memandang hujan dari tepi jendela. Kata ibunya, pipi anaknya akan bersemu merah jika hujan turun.

Hari itu hujan deras sejak siang tadi sudah berubah menjadi gerimis. Siti masih saja menopang wajah di bingkai jendela, selalu begitu, hingga senja tiba menjemput malam. Memandang malam yang gelap. Beberapa kunang-kunang tampak di rerimbun daun pohon belimbing dekat jendela rumah. Mereka terbang berpindah-pindah dari dahan satu ke dahan lain hingga hinggap di tunggul pohon belimbing. Jika sudah begitu, pohon belimbing itu akan benderang.

Siti masih duduk di sana. Tadi sore, ayah ibunya bertengkar hebat.  Persoalannya sepele, teh yang disajikan ibunya tak terlalu manis. Ayahnya langsung marah dan membanting gelas ke lantai sambil mengeluarkan makian: “Dasar perempuan tak becus, apa gunanya kau tinggal di rumah?” Sementara ibunya hanya diam ketakutan sambil memunguti beling yang berserakan di lantai.

Siti yang menyaksikan itu menangis dari balik tirai kain kamarnya. Ia tak boleh menangis, jika tak ingin ayahnya akan memukulinya pula. Jendela adalah satu-satunya tempat pelarian dari pemandangan pertengkaran ayah dan ibunya.

Bukan hanya dua tiga kali ayahnya berlaku kasar pada ibunya. Tetapi sejak Siti masih dalam kandungan. Klise, tapi ini kenyataan. Seperti sinetron, tapi ini kenyataan. Ayahnya suka bermain kartu dengan uang taruhan di rumah para juragan. Terkadang ayahnya pulang dengan mata merah sambil menggedor-gedor dan membanting pintu rumah dengan keras.

Ketika Siti masih berumur satu tahun, pertengkaran semakin sengit. Jika sudah marah, ayahnya seringkali menampar dan menendang ibunya yang terduduk menangis sambil memeluk kaki ayahnya.

Pertengkaran kedua orang tuanya membuat Siti merasa sangat kesepian. Ia lebih suka membaca buku untuk menemukan sosok tokoh orang tua yang bijaksana, tokoh ibu yang mengajari anak-anak membaca Al Quran, baca tulis huruf-huruf latin, berhitung dan menanyakan makanan yang diinginkan anak-anaknya sebelum memasak atau mengeloni mereka sambil mendongeng sebelum tidur. Tokoh ayah yang sangat sayang pada ibu juga anak-anaknya. Buku dan jendela adalah pelampiasan dari suasana rumah yang tidak hangat.

Suatu kali, Siti menyaksikan ibunya menangis di sisi tempat tidur. Tak lain karena ulah ayahnya. Soal uang, ibunya tak ingin suaminya terus bermain judi. Ayahnya yang marah langsung memukuli ibunya. Setelah itu, ayahnya keluar rumah dan tak pulang beberapa hari. Siti kecil berlari ke arah ibunya yang masih menangis di sisi tempat tidur. Ia memeluk dan mencium pipi ibunya. Ibunya terdiam dan mereka bertangis-tangisan dalam malam yang ditungkupi hujan lebat.

Perkara rumah tangga dalam keluarga Siti tak pernah sekalipun dicium tetangga mereka. Di depan orang-orang, ayah Siti selalu tampil sebagai manusia yang baik. berbeda 180 derajat dengan di rumah. Ibunya, seakan seorang perempuan yang tak pernah bisa menjadi perempuan. Ia menjadi seorang ibu yang suka marah kepada anaknya. Ia bahkan kadang tak mengerti kenapa sampai tak bisa memahami dunia anaknya. Hubungannya kini seperti dua kampung yang dihalangi oleh hutan hujan yang gelap, lembab dan lebat.

Mungkin karena wajah anaknya banyak mengambil kekhasan wajah ayahnya. Ibunya membenci wajah ayahnya. Padahal dulu, ibunya justru jatuh cinta karena wajah ayahnya. Namun setelah menikah semuanya berubah.

Setiap pagi, ibunya sudah harus bangun dan melayani semua kebutuhan ayahnya. Ibunya merasa tak pernah benar-benar melakukan itu dengan ikhlas. Ia benci tangannya yang terpaksa harus menjumput gula pasir dengan sendok, lalu mengaduk teh untuk ayahnya. Atau menata makanan dalam piring. Sikap itu timbul setelah suaminya berkali-kali berlaku kasar padanya.

Ayahnya yang dulu tampan bagi ibunya kini tak ubahnya laki-laki paruh baya, berkulit legam dan bermata merah. Ibunya malas memandang wajah ayahnya yang buruk itu. Ayahnya pun tak lagi tertarik untuk satu kamar dengan ibunya. Ayahnya memilih untuk tidur di ruang tamu yang kini seakan ruang pribadi baginya setiap malam.

Tetangga yang tidak pernah tahu soal ini, menganngap mereka keluarga yang bahagia. Mengetahui hal itu, ibunya diam saja. Ibunya memang bukan orang yang suka menggembor-gemborkan masalah rumah tangga kepada orang lain. 

Kebencian ibunya kepada ayahnya berubah menjadi rasa takut. Karena tidak berani pada suaminya, akhirnya pelampiasan kemarahan ditumpahkannya kepada anaknya. Baginya, mata rantai kesalahan itu akibat sikap, perkataan dan perbuatan kasar suaminya.
photo by me

Seperti halnya ibunya, Siti juga begitu benci pada sikap cepat marah dan suka memukul ayahnya. Tetapi jika ayahnya sedang duduk diam, menghembuskan asap rokok sambil mengikatkan pancing, Siti jatuh kasihan melihatnya. Terlebih jika Siti mengetahui ayahnya pulang melaut dengan tubuh menggigil sambil memanggul keranjang ikan, Siti merasa ayahnya tak patut dibenci. Apalagi ayahnya sebenarnya sering membawakan buku-buku cerita anak untuk Siti.

Rasa benci dan sayang silih berganti hadir di hati Siti pada ayahnya. Tapi, ia tak pernah sekalipun membenci ibunya. Siti paham, mungkin ibunya begitu juga karena ayahnya. Bagi Siti, segalanya sudah cukup jika dalam buku yang dibacanya menemukan sosok tokoh ibu yang bijak dan baik hati. Siti selalu membayangkan bahwa itu adalah ibunya.


by Galih P3
Jumat, 24/ 08/ 2012
18.57

Rabu, 25 Juli 2012

Cinta Seorang Perempuan

Ya Rabb, saya ingin sekali melihat ibu saya tersenyum, tertawa, bahagia karena saya. Yang saya tahu, Ibu selalu menagis.
Saat ia lelah mengandung saya, ia menangis
Saat ia kesakitan melahirkan saya, ia menangis
Saat ia lega bahwa saya lahir ke dunia, ia menangis
Saat saya menangis setiap kali minum susu, ia menangis
Saat saya tidak bisa bernafas dan selalu batuk, ia menangis
Saat saya bisa bicara, berjalan dan mulai nakal, ia menangis
Saat saya mulai sekolah, ia menangis
Saat saya jatuh tertimpa sepeda, ia menangis
Saat saya remaja dan mulai membantah saya perintahnya, ia menangis
Saat saya kena marah bapak, ia menangis
Saat saya lulus sekolah, ia menangis
Saat saya kuliah, ia menangis
Saat saya jatuh cinta, ia menangis
Saat saya mulai pulang malam karena kegiatan di luar, ia menangis
Setiap saya melakukan sesuatu, entah kenapa, saya selalu membuat Ibu menangis. Saat apapun dalam kehidupan saya Ibu selalu menangis. Entah apa yang harus saya lakukan agar Ibu tidak menangis lagi . . .
Entah sampai seluruh hidup saya habis ibu akan terus menangis
Saya berusaha mulai detik ini tidak akan membuat ibu saya menangis lagi . . .

"Aku akui cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sedangkan menurutku cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus-menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi." 
Paragraf di atas terinspirasi dari salah satu dialog dalam film Pasir Berbisik karya Garin Nugroho. Dan apa yang ada dalam dialog tersebut aku alami sendiri.
Bapakku adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, ketika dia meletus, laharnnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja yang dilaluinya, melukai fisik, hati serta jiwa istri dan anak-anaknya.
Ibuku adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku, memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tidak peduli jika kuku itu dipotong. Bahkan, jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tidak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi . . . .
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang aku yakin tidak cuma dimiliki oleh ibuku. Cinta itu terwujud dalam sebuah tindakan agung, yaitu memaafkan. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

Senin, 25 Juni 2012







Kakak Ade ga tau nemu dimana.. Kecapean abis dari Cilongok.

Nikmati Sajian Bubur Ayam Malam Hari Depan SPN

photo by Galih P3
 
Depot Bubur Ayam M@ng Iwan depan SPN Purwokerto. Dari perempatan Karang Jambu terus ke utara. Kanan jalan deh. Buka dari pagi sampai jam 10 malam. Jarang-jarang ada di Purwokerto, bisa nemu bubur ayam malem-malem. Enak bener...

Bubur ayam ini memang buka hingga malam hari. Terbuat dari beras Pandan Wangi dan dicuci hingga bersih, bubur terlihat putih bersih alami. Isian yang terdiri dari suwiran ayam yang berasal dari ayam pilihan dan telah dimasak hingga empuk, cakwe yang jarang ada di penjual bubur ayam lain, kacang kedelai ditambahkan di atasnya menambah cita rasa. Kacang kedelai ini menjadi pilihan konsumen apakah akan ditaburkan di atasnya atau tidak. Kemudian ada bawang goreng, abon sapi serta seledri segar yang ditambahkan di atasnya. Spesial di Depot Mang Iwan ini menyediakan tongcai. Tongcai merupakan makanan khas China yang terbuat dari sayuran yang diawetkan dengan cara diasinkan. Tongcai ini asin sekali bila dimakan langsung. Akan terasa nikmat jika ditambahkan ke dalam bubur ayam. Guris rasanya.

Depot Mang Iwan ini hadir di depan Sekolah Polisi Negara (SPN) dan di daerah Teluk. Kelebihan lainnya adalah di cara pengemasannya. Jika kita makan langsung di tempat, akan tersedia kerupuk yang ditempatkan tersendiri dalam wadah sehingga pelanggan dapat menambahkan sesuai selera. Sambal yang terbuat dari cabai yang dikeringkan membuatnya tahan lama selama 3 hari. Menurut Pengelola Depot Mang Iwan di depan SPN, Hadi Waluyo "Pengemasannya pun dibuat sederhana dan praktis". Dialasi dengan daun pisang yang sudah disterilkan kemudian ditempatkan  di dalam sterofoam. Kemudian bubur dan isiannya ditambahkan ke dalamnya. Sambal dan kuah ditempatkan terpisah. Serta disertakan sendok di dalamnya untuk memudahkan konsumen mengkonsumsinya.

Menu yang tersedia di Depot Mang Iwan ini selain bubur ayam juga ada bubur kacang hijau dan bubur ketan hitam. Semua bahan pilihan tanpa bahan pengawet, bahan pewarna, saccharine atau sari manis. 100% dari gula asli sehingga aman dikonsumsi. Makanan pelengkap sate usus dan telur puyuh juga tersedia di sini. Dengan Rp 6.000,- Anda dapat memanjakan lidah di Depot Mang Iwan ini.

Senin, 14 Mei 2012

Di Bawah Pohon Kersem


Aku menelan ludah
Tak siap dengan penyataannya

“Aku masih menyimpan fotomu”, tambahnya

Aku semakin tergagap
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk
Dia tersenyum
Senyum itu, lesung pipit itu, dalam
Mata itu, cokelat terang
Tak bisa kutebak apa yang ada dalam pikirannya
Aku hanya bisa melihat diriku,
berdiri terpaku di depannya
melengos, tak ingin hatiku lebih lama terguncang

Kami berjalan perlahan sepanjang jalan setapak itu di bawah rimbunan pohon kersem
Buahnya merah, kecil-kecil bergelanyut penuh di tiap dahan
Cahaya matahari menerobos dedaunan
Perlahan, kudengar isak tangisnya
Tapi kami tetap meneruskan perjalanan kami
Sinar matahari membuat bayang dedauhan
Sepi, tak mudah membuka mulut
Sepi, sehingga terdengar jelas gesekan lembut daun-daun yang ditiup angin

Melewati jembatan, dia bertanya, “Setelah ini kau kemana?”
Wajahnya terlihat keraguan
Kulihat di mata cokelatnya masih tersimpan pesona yang membuat dadaku berdebar
Kulihat harapan, dan . . .
Kekecewaan
Lebih dari itu, kulihat kehidupannya yang terkurung dalam situasi yang tidak wajar
Aku tak berani mengakui bahwa dia adalah harapan dan cita-cita dalam hidupku