Sabtu, 27 April 2013

Cerita Sore



Jika hidung Cleopatra sedikit lebih pendek, tentu sejarah dunia akan lain
Jika Napoleon Bonaparte gugur sewaktu ia masih sersan, tentu . . .
Jika seandainya Mirabeau tidak segera mati, mungkin akhir dari Perancis bisa tertahan sementara
Jika seandainya Julius Caesar mau menerima nasehat tukang nujum untuk tidak pergi ke rapat Senat, ia tidak akan mati terbunuh
Jika Bung Karno seggera mengutuk PKI, bagaimana jadinya dengan Orde Baru?
Pertanyaan “jika”, “kalau” tak akan ada hentinya
Biarlah pertanyaan itu terus dipertanyakan
-anonim-

Cukuplah cerita lama. Berharap tidak terulang.

Mengapa harus kasar? Pertanyaan yang pernah keluar. Dari luar, memang kelihatan ada yang terluka, tetapi di dalam, lebih pedih sekali rasanya. 

Sekali peristiwa, ketika sedang naik pitam, ia bahkan menampar dengan kasar! Ini tanda-tanda bahwa bisa saja kalau hubungan dilanjutkan maka yang terjadi adalah menjadi sansak hidup. 

Pernah merasakan sakitnya disia-siakan. Dengan seenaknya menduakan. Bahkan dengan dengan seenaknya meninggalkan kekasihnya hanya karena dia bertemu dan jatuh cinta dengan perempuan lain. 

Meski sebelum kejadian itu ada satu hal yang tidak bisa dimaafkan. Kejadian yang bila diteruskan akan menjalar dan melemahkan seluruh fungsi hati. 

Kekerasan fisik. Bentuk paling menyakitkan yang pernah dilakukan seorang laki-laki terhadap pasangannya.
Menyerang fisik sekaligus psikis. Menyakiti orang yang mencintainya itu. Ketika menyia-nyiakan bukan malah menjaga wanita yang selalu setia menunggunya. Dan dengan penuh kesadaran membuat sang wanita menangis sejadi-jadinya. 

Bagaimana sakitnya dikecewakan dan disakiti. Pernah merasakan ketika seseorang itu menghancurkan hati dan malah membawa kepingan nya tanpa pernah perduli betapa kecewanya.


Senin, 01 April 2013

Cerita Siang Ini



Purwokerto puanas banget. Kena nggo ngrawun boled haha..
Lagi ngaso di daerah kampus Unsoed tercinta sambil jagongan. Panas-panas gini, yang namanya anak-anak ya tetep aja bisa main ya. Pada lari-lari di lapangan Grendeng tuh.. :D
Jadi inget, aku punya teman dari Jepang. Ayahnya orang Indonesia dan ibunya asli Jepang. Ayahnya ini teman pamanku. Aku pernah diajak pamanku tinggal beberapa lama di rumah mereka di daerah Fujisawa, Provinsi Kanagawa, Jepang.. Aku ikut karena pamanku ada proyek disana dan dia cuma sendirian.
Keluarga teman pamanku adalah keluarga kecil. Anak mereka satu dan laki-laki. Aku memanggilnya Ito-san. Ito-san ini umurnya lebih tua dariku. Waktu kami ke sana, Ito-san baru naik kelas 1 SMP.
Ito-san baik sekali orangnya. Kami ngobrol dengan empat bahasa yaitu bahasa Indonesia, Jepang, Inggris dan bahasa tubuh hahaha… Ini karena aku tidak bisa bahasa Jepang dan Ito-san bisa sedikit bahasa Indonesia.           
Di hari kedua di Fujisawa, sepulang sekolah, Ito-san mengajakku pergi main keluar. Dia mengajakku bermain di sekitar sungai. Disana kami bertemu teman-teman Ito-san. Ito-san mengenalkanku dengan teman-temannya. Ada Satsuki, Takumi, Nobu, Takeshi dan Mitsuru. Dengan bantuan bahasa campuran itu aku ikut bermain dengan mereka.
Rupanya mereka tengah bermain lompat tali. Kata Ito-san, lompat tali sedang popular dimainkan anak-anak saat itu. Bahkan untuk permainan yang populer, terkadang diadakan pertandingan.
“Kami sebenarnya sedang berlatih untuk pertandingan lompat tali antar sekolah yang diadakan dalam waktu dekat,” terang Ito-san.
Aneh memang. Di Indonesia, kalau main lompat tali ya anak perempuan. Anak laki-laki tidak ada yang main. Dan disini malah ada kaya perlombaannya. Dan laki-laki perempuan bisa main bareng.
Mitsuru yang sedang melompat sementara di kedua ujung tali dipegang oleh Satsuki dan Nobu. Dari hitungan mereka, ketahuan bahwa Mitsuru sudah melompat sebanyak 126 kali.
“Wuah banyak banget,” ujarku pada Ito-san. Dia hanya nyengir saja.
Permainan dilanjutkan sampai hitungan mencapai 200. Dan mereka berenam bergantian.
“Ayo, kamu coba,” Satsuki menarik tanganku.
Aku hanya mencoba beberapa kali lompatan. Dan capeknya minta ampun.
Tak terasa sudah pukul 4 sore. Akhirnya kami bertujuh berpisah dan pamit pulang ke rumah masing-masing. Ito-san memboncengku pulang.
Di jalan, aku bertanya padanya. Karena ada satu hal yang terlihat beda dengan anak-anak itu. Yaitu si Mitsuru.
“Ito-san kenapa ya Mitsuru itu beda? Kayanya dia kok kelihatan murung begitu kita mau pulang?” tanyaku.
Ito-san hanya tertawa, “Mitsuru itu belum lama pindah ke sini. Murid pindahan dari Tokyo, dia tinggal engga jauh dari lapangan tadi. Kapan-kapan ya, aku ajak kesana.”
Haik..,” anggukku. “Ito-san, tapi kok dia kelihatan sedih ya tadi waktu mainnya udah abis?”
“Kamu tau engga rasanya sendirian?” tanyanya tiba-tiba.
Ito-san melanjutkan ceritanya.
“Pasti sulit jadi Mitsuru. Dia itu anak tunggal. Kedua orangtuanya sibuk bekerja. Tapi Mitsuru yang sekarang lebih baik daripada pertama kali pindah kesini,” tambahnya.
“Memang Mitsuru nakal ya? Oka-san bilang kalau anak nakal itu engga punya teman,” ujarku. Ibu Ito-san, Ayano Nakamura, menyuruhku memanggilnya Oka-san selama tinggal di Jepang.
“Mitsuru memang tidak nakal kok. Hanya saja dia punya kebiasaan yang sempat menggemparkan kami teman-temannya. Dia punya kebiasaan mengambil barang punya orang lain tanpa ijin dulu,” terangnya.
“Hah mencuri?”
“Bukan. Apa ya namanya, klepto kalau tidak salah. Mungkin kamu belum paham. Dia hanya mengambil dan disimpan. Tidak dijual lagi. Dia hanya menikmati rasanya waktu mengambil,” cerita Ito-san.
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala  mendengarnya.
ilustrasi
“Mitsuru dari keluarga berada. Jadi dia tidak kekurangan materi. Mainan mulai dari video game, komik dan kesenangan anak-anak dia punya. Dia punya banyak barang tapi nggak satupun yang dibutuhkan Mitsuru,” ujarnya.
“Makanya dia bermaksud meminjam barang milik orang lain. Ya untuk menemukan barang apa si yang sebenarnya diinginkannya,” tambahnya lagi.
“Itu namanya egois Ito-san,” kataku.
“Hahaha entah egois atau bukan. Di dunia ini banyak orang dewasa dan anak-anak yang tidak memahami perasaannya sendiri. Mungkin yang diinginkan Mitsuru adalah perhatian dari orang lain. Seandainya dia bisa bilang ke semua orang,” jawab Ito-san.
Sambil memasukkan sepeda ke dalam rumah, Ito-san terus cerita tentang Mitsuru.
“Tapi kalau kaya gitu berisik namanya. Minta perhatian terus,” kataku lagi.
Ito-san mengelus kepalaku sambil berkata, “Berisik atau tidak, itu manusiawi. Tolong perhatikan aku begitu ya. Anak itu kesepian.”
“Tapi tidak apa kok, mengatakan apa yang diinginkan dari pada mencari perhatian dengan seperti itu Ito-san,”
“Ya, kamu benar. Hidup itu mudah. Katakan saja apa maumu. Tidak ada orang yang tau apa yang kita mau kalau kita tidak mengatakannya. Yuk, masuk. Oka-san buat makanan enak sepertinya,” ajaknya.
Sepertinya aku bisa mengerti perasaan Mitsuru. Kesepian itu tidak enak. 



Note: Oka-san : ibu