Purwokerto puanas banget. Kena nggo ngrawun boled haha..
Lagi ngaso di daerah kampus Unsoed tercinta sambil jagongan. Panas-panas gini, yang namanya anak-anak ya tetep aja bisa main ya. Pada lari-lari di lapangan Grendeng tuh.. :D
Jadi inget, aku punya teman dari
Jepang. Ayahnya orang Indonesia dan ibunya asli Jepang. Ayahnya ini teman
pamanku. Aku pernah diajak pamanku tinggal beberapa lama di rumah mereka di
daerah Fujisawa, Provinsi Kanagawa, Jepang.. Aku ikut karena pamanku ada proyek
disana dan dia cuma sendirian.
Keluarga teman
pamanku adalah keluarga kecil. Anak mereka satu dan laki-laki. Aku memanggilnya
Ito-san. Ito-san ini umurnya lebih tua dariku. Waktu kami ke sana, Ito-san baru
naik kelas 1 SMP.
Ito-san baik
sekali orangnya. Kami ngobrol dengan empat bahasa yaitu bahasa Indonesia,
Jepang, Inggris dan bahasa tubuh hahaha… Ini karena aku tidak bisa bahasa
Jepang dan Ito-san bisa sedikit bahasa Indonesia.
Di hari kedua di
Fujisawa, sepulang sekolah, Ito-san mengajakku pergi main keluar. Dia
mengajakku bermain di sekitar sungai. Disana kami bertemu teman-teman Ito-san.
Ito-san mengenalkanku dengan teman-temannya. Ada Satsuki, Takumi, Nobu, Takeshi
dan Mitsuru. Dengan bantuan bahasa campuran itu aku ikut bermain dengan mereka.
Rupanya mereka
tengah bermain lompat tali. Kata Ito-san, lompat tali sedang popular dimainkan
anak-anak saat itu. Bahkan untuk permainan yang populer, terkadang diadakan
pertandingan.
“Kami sebenarnya
sedang berlatih untuk pertandingan lompat tali antar sekolah yang diadakan
dalam waktu dekat,” terang Ito-san.
Aneh memang. Di
Indonesia, kalau main lompat tali ya anak perempuan. Anak laki-laki tidak ada
yang main. Dan disini malah ada kaya perlombaannya. Dan laki-laki perempuan
bisa main bareng.
Mitsuru yang
sedang melompat sementara di kedua ujung tali dipegang oleh Satsuki dan Nobu. Dari
hitungan mereka, ketahuan bahwa Mitsuru sudah melompat sebanyak 126 kali.
“Wuah banyak
banget,” ujarku pada Ito-san. Dia hanya nyengir saja.
Permainan
dilanjutkan sampai hitungan mencapai 200. Dan mereka berenam bergantian.
“Ayo, kamu
coba,” Satsuki menarik tanganku.
Aku hanya mencoba
beberapa kali lompatan. Dan capeknya minta ampun.
Tak terasa sudah
pukul 4 sore. Akhirnya kami bertujuh berpisah dan pamit pulang ke rumah
masing-masing. Ito-san memboncengku pulang.
Di jalan, aku
bertanya padanya. Karena ada satu hal yang terlihat beda dengan anak-anak itu.
Yaitu si Mitsuru.
“Ito-san kenapa
ya Mitsuru itu beda? Kayanya dia kok kelihatan murung begitu kita mau pulang?”
tanyaku.
Ito-san hanya
tertawa, “Mitsuru itu belum lama pindah ke sini. Murid pindahan dari Tokyo, dia
tinggal engga jauh dari lapangan tadi. Kapan-kapan ya, aku ajak kesana.”
“Haik..,” anggukku. “Ito-san, tapi kok
dia kelihatan sedih ya tadi waktu mainnya udah abis?”
“Kamu tau engga
rasanya sendirian?” tanyanya tiba-tiba.
Ito-san
melanjutkan ceritanya.
“Pasti sulit jadi
Mitsuru. Dia itu anak tunggal. Kedua orangtuanya sibuk bekerja. Tapi Mitsuru
yang sekarang lebih baik daripada pertama kali pindah kesini,” tambahnya.
“Memang Mitsuru
nakal ya? Oka-san bilang kalau anak
nakal itu engga punya teman,” ujarku. Ibu Ito-san, Ayano Nakamura, menyuruhku
memanggilnya Oka-san selama tinggal
di Jepang.
“Mitsuru memang
tidak nakal kok. Hanya saja dia punya kebiasaan yang sempat menggemparkan kami
teman-temannya. Dia punya kebiasaan mengambil barang punya orang lain tanpa
ijin dulu,” terangnya.
“Hah mencuri?”
“Bukan. Apa ya
namanya, klepto kalau tidak salah. Mungkin kamu belum paham. Dia hanya
mengambil dan disimpan. Tidak dijual lagi. Dia hanya menikmati rasanya waktu
mengambil,” cerita Ito-san.
Aku hanya bisa
garuk-garuk kepala mendengarnya.
|
ilustrasi |
“Mitsuru dari
keluarga berada. Jadi dia tidak kekurangan materi. Mainan mulai dari video
game, komik dan kesenangan anak-anak dia punya. Dia punya banyak barang tapi
nggak satupun yang dibutuhkan Mitsuru,” ujarnya.
“Makanya dia
bermaksud meminjam barang milik orang lain. Ya untuk menemukan barang apa si
yang sebenarnya diinginkannya,” tambahnya lagi.
“Itu namanya
egois Ito-san,” kataku.
“Hahaha entah
egois atau bukan. Di dunia ini banyak orang dewasa dan anak-anak yang tidak
memahami perasaannya sendiri. Mungkin yang diinginkan Mitsuru adalah perhatian
dari orang lain. Seandainya dia bisa bilang ke semua orang,” jawab Ito-san.
Sambil memasukkan
sepeda ke dalam rumah, Ito-san terus cerita tentang Mitsuru.
“Tapi kalau kaya
gitu berisik namanya. Minta perhatian terus,” kataku lagi.
Ito-san mengelus
kepalaku sambil berkata, “Berisik atau tidak, itu manusiawi. Tolong perhatikan
aku begitu ya. Anak itu kesepian.”
“Tapi tidak apa kok,
mengatakan apa yang diinginkan dari pada mencari perhatian dengan seperti itu
Ito-san,”
“Ya, kamu benar.
Hidup itu mudah. Katakan saja apa maumu. Tidak ada orang yang tau apa yang kita
mau kalau kita tidak mengatakannya. Yuk, masuk. Oka-san buat makanan enak sepertinya,” ajaknya.
Sepertinya aku bisa mengerti perasaan Mitsuru.
Kesepian itu tidak enak.
Note: Oka-san : ibu