Aku menelan ludah
Tak siap dengan penyataannya
“Aku masih menyimpan fotomu”, tambahnya
Aku semakin tergagap
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk
Dia tersenyum
Senyum itu, lesung pipit itu, dalam
Mata itu, cokelat terang
Tak bisa kutebak apa yang ada dalam pikirannya
Aku hanya bisa melihat diriku,
berdiri terpaku di depannya
melengos, tak ingin hatiku lebih lama terguncang
Kami berjalan perlahan sepanjang jalan setapak itu di bawah
rimbunan pohon kersem
Buahnya merah, kecil-kecil bergelanyut penuh di tiap dahan
Cahaya matahari menerobos dedaunan
Perlahan, kudengar isak tangisnya
Tapi kami tetap meneruskan perjalanan kami
Sinar matahari membuat bayang dedauhan
Sepi, tak mudah membuka mulut
Sepi, sehingga terdengar jelas gesekan lembut daun-daun yang
ditiup angin
Melewati jembatan, dia bertanya, “Setelah ini kau kemana?”
Wajahnya terlihat keraguan
Kulihat di mata cokelatnya masih tersimpan pesona yang
membuat dadaku berdebar
Kulihat harapan, dan . . .
Kekecewaan
Lebih dari itu, kulihat kehidupannya yang terkurung dalam
situasi yang tidak wajar
Aku tak berani mengakui bahwa dia adalah harapan dan
cita-cita dalam hidupku