Senin, 14 Mei 2012

Di Bawah Pohon Kersem


Aku menelan ludah
Tak siap dengan penyataannya

“Aku masih menyimpan fotomu”, tambahnya

Aku semakin tergagap
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk
Dia tersenyum
Senyum itu, lesung pipit itu, dalam
Mata itu, cokelat terang
Tak bisa kutebak apa yang ada dalam pikirannya
Aku hanya bisa melihat diriku,
berdiri terpaku di depannya
melengos, tak ingin hatiku lebih lama terguncang

Kami berjalan perlahan sepanjang jalan setapak itu di bawah rimbunan pohon kersem
Buahnya merah, kecil-kecil bergelanyut penuh di tiap dahan
Cahaya matahari menerobos dedaunan
Perlahan, kudengar isak tangisnya
Tapi kami tetap meneruskan perjalanan kami
Sinar matahari membuat bayang dedauhan
Sepi, tak mudah membuka mulut
Sepi, sehingga terdengar jelas gesekan lembut daun-daun yang ditiup angin

Melewati jembatan, dia bertanya, “Setelah ini kau kemana?”
Wajahnya terlihat keraguan
Kulihat di mata cokelatnya masih tersimpan pesona yang membuat dadaku berdebar
Kulihat harapan, dan . . .
Kekecewaan
Lebih dari itu, kulihat kehidupannya yang terkurung dalam situasi yang tidak wajar
Aku tak berani mengakui bahwa dia adalah harapan dan cita-cita dalam hidupku

Dari Seberang Jalan


Dia menuruni tangga
Tubuhnya yang jangkung berjalan gontai
Seperti tak acuh

Tak dihiraukannya wajah  sumringah gadis-gadis yang berjalan berlawanan arah
Tampangnya lumayan
Tapi tampangnya waktu  marah mengerikan
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat siapapun pasti akan tertarik padanya
Kalau sedang menggaruk-garuk,
dia memang tak beda dengan anak-anak muda gondrong lainnya

Kini dia duduk di warung kopi samping pintu keluar kampus
Istirahat sejenak dari panas matahari siang ini
Es teh dihadapannya belum disentuh

Berkali-kali aku meliriknya
Yang dilirik tetap tidak menyadari
Dia terbenam dalam  lamunannya

Akhirnya kunikmati saja wajahnya dari seberang jalan
Ketajaman matanya
Betul-betul bikin aku gugup.
Tapi, pelototan lelaki itu membuat aku merasa bersalah

Rambut lelaki itu melambai-lambai
Tubuh jangkungnya membuat dia duduk dengan punggung melengkung

Aku hapal kebiasaannya
Biasanya kalau sudah duduk di warung kopi itu
Ya, mengawasi pinggul gadis yang bergoyang-goyang lewat di depannya
Tapi, sepertinya hari ini tidak berselera
Kenapa ya?

Mungkin dia baru putus dengan pacarnya?
Atau, baru saja melihat pacarnya menyeleweng
Atau, kehilangan duit
Atau, tak ada duit buat bayar kos
Tak mungkin, masa masih bisa nongkrong di warung kopi
Atau, tak lulus ujian

Tampangnya seperti orang yang mau makan tapi di depannya malah ada tahi kucing
Dia menarik napas,
berusaha membenamkan dalam-dalam kejengkelannya yang merayap-rayap

Yah,
Tak peduli
Aku nikmati saja wajahnya mumpung dia tidak sadar
Dari seberang jalan

Rabu, 09 Mei 2012

Petaka Siang Itu

Waktu terasa berjalan lambat

Di dapur, ibu sedang menyiapkan kue beras untuk perayaan ulang tahun ayah. Di ladang, ayah sedang memanen. Di kelas, aku dan teman-teman sedang menunggu Bu Toshie yang sudah berjanji akan membawakan kami dango buatannya. Di halaman depan sekolah, anak kelas besar sedang bermain lompat tali dan petak umpet. Ada sekitar 20 anak di dalam kelas dan 24 anak di halaman sekolah. Bu Toshie masuk sambil membawa nampan berisi makanan, beliau berjalan melewati lorong menuju kelas kami.

Namun. Dia tak pernah sampai menyajikan dango tersebut.

BLAAAM

Sebuah goncangan besar menghempaskannya ke lantai. Suasana berubah gelap gulita. Perabotan beterbangan, kaca-kaca pecah berantakan.

Sedetik kemudian, aku berpikir bahwa kami diserang musuh seperti yang sering ayah ceritakan. Kami sedang berperang dengan orang-orang berkulit putih dan berambut seperti bunga matahari di musim panas.

Ketika kemudian kurasakan udara menjadi sangat panas. Beberapa ruangan terbakar hebat.

Ketika terbangun, sejauh mata memandang hanya terlihat warna kemerah-merahan. Seperti langit di musim panas ketika matahari akan terbit atau tenggelam. Hajime keluar dari kobaran api dan berteriak, “Oka-san...oka-san..”

Di halaman, sudah tidak terlihat seorang pun. Tubuh-tubuh terlihat menggelembung. Luka bakar hampir di sekujur tubuh. Mayat-mayat bergeletakan telanjang. Dan sangat rusak sehingga tidak bisa dikenali apakah laki-laki atau perempuan.

Mereka seperti monster.

Terdengar suara orang. Aku mencoba berteriak dari balik rak sepatu yang menindih tubuhku. Pak Iwashiro mendengarnya. Beliau dan aku beruntung tidak mengalami luka berat. Setelah memindahkanku ke tempat yang lebih aman, dia mencoba menolong beberapa orang. Suara mereka yang sekarat tidak bisa didengar dengan jelas. Ia hendak menyediakan air ketika seseorang berteriak, “Jangan berikan air! Air sudah bercampur dengan gas beracun. Jika kau memberi air, mereka akan mati dengan cepat.  Jangan memberi mereka apapun!”

Orang itu bercerita bahwa di kota ini telah dijatuhkan sebuah bom yang menghasilkan gas beracun dan gelombang udara maha panas. Tak ada yang bisa diselamatkan. Termasuk air yang sudah bercampur gas beracun tersebut. Pak Iwashiro terkaget. Sampai akhir hayat, penyesalan tidak bisa menolong dan memberi air pada orang tersebut selalu menghantuinya.

Galih P3